Pemerintah Harus Dukung Penuh lewat UU untuk Memperkuat KPK
Korupsi bak virus ganas yang menggerogoti tubuh negeri. Tidak hanya kronis, namun juga akut dan membuat setiap orang bergidik takut. Meski sudah banyak virus terdeteksi, namun virus-virus lainnya muncul lagi. Seolah-olah semua aspek tubuh negeri sudah terjangkit virus korupsi.
Terlalu naif jika hanya membahas korupsi tentang diri pribadi. Karena faktanya, korupsi yang paling menakutkan justru terjadi dikalangan pejabat negeri. Tindakan korup yang dilakukan tidak lagi merugikan diri pribadi, lebih dari itu, jutaan anak negeri kebagian menerima akibat atas tindakannya ini.
Tidak hanya terjadi pada pemerintah pusat, sejak diberlakukannya Otonomi Daerah, maka kantong korupsi menjalar hingga ke desa-desa. Perlahan tapi pasti, korupsi mulai mengguncang perekonomian negara.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2015 mencatat kerugian Indonesia akibat korupsi mencapai Rp.31,077 triliun. Terdapat sebanyak 550 kasus korupsi yang masuk tahap penyidikan selama tahun tersebut.
Terbaru, ICW melakukan pemetaan kasus korupsi di Indonesia periode Januari 2016 hingga Juni 2016. Hasilnya sepanjang waktu itu, sebanyak 210 kasus ditangani dan 500 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh 3 institusi penegak hukum. Total kerugian negara dalam enam bulan terakhir ini pun mencapai Rp 890,5 miliar.
Sementara itu, berdasarkan hasil kajian Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam analisa database korupsi yang diterbitkan April 2016 lalu, total nilai kerugian negara akibat tindak pidana korupsi di Indonesia selama 2001-2015 mencapai Rp203,9 triliun. Total ini berasal dari 2.321 kasus yang melibatkan 3.109 terdakwa.
Sebagian kita mungkin saja tidak terpengaruh dengan angka-angka tersebut. Karena faktanya masyarakat masih menjalankan aktivitas seperti biasa. Tidak ada yang berubah meskipun tindak pidana korupsi sudah begitu merajarela. Tidak tambah kaya, atau masih saja tetap miskin seperti biasanya.
Namun tahu kah kita jika tindakan para koruptor di Indonesia ini seolah disubsidi oleh rakyat dan generasi muda di masa datang?
Seperti diketahui, hukuman finansial kepada para terpidana koruptor lebih rendah jika dibandingkan dari kerugian negara yang diakibatkan. Berdasarkan kajian Laboratorium Ilmu Ekonomi UGM, ternyata dari total nilai kerugian yang mencapai Rp203,9 triliun tersebut, yang baru dikembalikan kepada negara sebesar Rp21,26 triliun atau sekitar 10,42% saja. Akibatnya, dari banyaknya nomilal kerugian yang dialami, masih ada dana hilang sebesar Rp182,64 triliun yang belum mereka ganti.
Lantas, siapakah yang akan menanggung beban akibat korupsi yang dilakukan para koruptor? Ternyata kerugian tersebut dibebankan kepada para pembayar pajak. Termasuk kita yang masih mehasiswa ketika membeli buku untuk proses belajar, para ibu-ibu yang membelikan susu formula untuk anak-anaknya, tukang becak yang membeli deterjen untuk istrinya mencuci, bahkan generasi masa depan yang saat ini belum lahir pun sudah harus menanggung beban ini.
Jika sudah begini, masih bisa kah kita mengatakan jika korupsi yang dilakukan oleh koruptor tersebut tidak berdampak pada kehidupan kita? Sehingga hanya diam menyaksikan di layar kaca ketika para koruptor tersenyum sambil melambai ke kamera.
Korupsi merupakan kejahatan yang disengaja. Namun tidak bisa dipungkiri jika seseorang akan sangat sulit menghindarinya. Sangat mudah mengatakan bahwa koruptor adalah orang yang rakus harta, perompak negara, dan orang yang lemah beragama.
Namun, apa jadinya jika kita berada dalam sistem yang mereka duduki saat ini. Mampukah kita menolak untuk tidak melakukan hal serupa?
Bukankah para koruptor yang terjerat ini dahulunya merupakan mahasiswa berpendidikan yang mungkin saja turut serta dalam unjuk rasa menolak kezoliman pemimpin yang mencurangi uang negara. Selain itu, terkhusus untuk korupsi tentu tidak ada kata alpa atau lupa, pasalnya siapapun yang terlibat sejatinya adalah orang yang sadar dan sehat kejiwaannya.
Korupsi seperti sudah tersistem dan menggurita di negeri ini. Meski pribadi bersih belum tentu tahan godaan ketika dihadapkan dengan jumlah uang miliaran. Menolak, artinya tergusur dari jabatan. Menghindar, artinya siap disisihkan dari pergaulan.
Lantas bagaimanakah cara untuk mencegah korupsi yang merajalela? Mampukah kita secara pribadi untuk menuntaskannya? Hal ini tentu bukanlah perkara mudah. Layaknya yang sering didengungkan banyak orang pada umumnya.
Saran-saran seperti perbaiki hati, bangun karakter bebas korupsi dan atau saling menasihati belum tentu menjamin seseorang jika didalam sistem akan tetap menjaga konsistensi untuk tidak korupsi.
Status sebagai masyarakat sipil tidak memberikan banyak ruang bagi kita untuk menindak koruptor. Hal yang paling besar untuk berkontribusi melawan korupsi adalah unjuk rasa. Namun, aksi itu biasanya hanya dianggap angin lalu saja. Setelahnya, tidak bisa berbuat apa-apa.
Langkah pasti yang pasti bisa dilakukan oleh setiap warga negara adalah dengan memberikan dukungan penuh pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebagai warga negara, mungkin kita sering melupakan peran lembaga ini. Pasalnya, meskipun lembaga ini ada, tetap saja korupsi tidak ada habis-habisnya.
Namun jangan salah dulu, keberadaan KPK tidak lantas menghilangkan korupsi yang sudah membudaya. Akan tetapi, jumlah koruptor yang ditangkap seolah memberikan secercah harapan jika lembaga ini akan membawa Indonesia keluar dari korupsi tak berkesudahan.
Lihat saja, bagaimana KPK telah berhasil menyeret anggota DPR, polisi, jaksa, hakim, gubernur, mantan menteri ke pengadilan. Lembaga ini KPK dapat memanggil pejabat manapun, termasuk kepala daerah dan menteri, tanpa harus minta ijin presiden. Hal ini menjadi sejarah baru bagi Indonesia dalam pemberantasan korupsi sepanjang kemerdekaan.
Lalu bagaimana cara kita sebagai warga negara untuk bisa mendukung KPK? Sebenarnya, kita bisa berkontribusi tak hanya dengan demonstrasi.
Ada cara yang lebih elegan yang seharusnya dilakukan. Seperti diketahui, ada tiga tiga zona dalam pemberantasan korupsi yakni hijau, kuning dan merah. Hijau merupakan wilayah pencegahan, Kuning adalah wilayah kajian dan investigasi, dan Merah adalah penindakan. Masyarakat bisa berkontribusi memberantas korupsi di ranah Hijau dan Kuning.
Hijau yang merupakan wilayah pencegahan bisa dilakukan dengan sosialisasi dan edukasi. Bisa dengan cara kita menggelar sendiri untuk mengedukasi orang lain, atau yang menjadi peserta sosialisasi. Intinya pada point ini pencegahan adalah memulai dari diri sendiri.
Sementara zona kuning merupakan ranah kajian dan investigasi. Masyarakat bisa berkontribusi dengan melakukan kajian dan investigasi atas potensi korupsi di lingkungan sekitar. Saat ini, banyak Peraturan Daerah yang bertentangan dengan aturan anti korupsi sebagai upaya pelegalan korupsi.
Hal ini bisa langsung dilaporkan kepada KPK. Hal yang sama juga bisa dilakukan pada tindakan mencurigakan lainnya. Sedangkan zona merah yang merupakan zona penindakan yang hak prerogatif KPK.
Selain masyarakat, dukungan terhadap KPK seharusnya datang dari pemerintah. Kita perlu melihat keberhasilan negara lain dalam memberantas korupsi melalui lembaga antikorupsi yang didukung penuh oleh pemerintah dan parlemennya. Jika tidak, berarti kita rela menyerahkan masa depan bangsa ini kepada koruptor.
Layaknya Hongkong, yang awalnya menyandang predikat sebagai negara terkorup sedunia, kini bertransformasi menjadi negara bersih di kawasan Asia Timur. Berdasarkan indeks persepsi korupsi Transparency International 2012, Hong Kong berada di peringkat 14, di atas Jepang sedangkan Cina berada di peringkat 80.
Hal ini berkat pemerintahannya yang memberikan dukungan penuh terhadap Independent Commission Against Corruption (ICAC) pada tahun 1974. Lembaga ini menangani pemberantasan korupsi layaknya KPK.
Perjuangan ICAC tidak mudah dan cepat. Namun begitu panjang dan berliku. Mereka harus berhadapan dengan pihak kepolisian yang tidak mau diperiksa. Bahkan pada tahun 1977 terjadi penyerangan oleh petugas kepolisian Hong Kong karena melakukan penyidikan terhadap sejumlah perwiranya.
Namun pemerintahannya tidak tinggal diam. Sang gubernur, Murray MacLehose yang menjabat kala itu mengambil langkah nyata. Ia memberikan amnesti untuk kasus-kasus korupsi kategori minor yang dilakukan oleh perwira polisi, sebelum tahun 1977.
Namun MacLehose memperingatkan, pemutihan serupa tidak akan diberikan lagi untuk masa-masa berikutnya. Artinya dia mendukung penuh langkah yang dilakukan ICAC. Setelahnya, ICAC memanfaatkan dukungan dari gubernur untuk menyapu bersih para polisi korup ini. Kini, ICAC dan pihak kepolisian bersatu untuk memberantas korupsi.
Lembaga ICAC juga mendapat dukungan finansial yang besar. Anggaran tahunannya bahkan mencapai AS$90 miliar, atau sekitar AS$15 per kapita.
Selain dukungan, para pembuat kebijakan juga diharapkan membuat hukum perundang-undangan yang mampu menimbulkan efek jera. Bukan justru hukuman ringan yang tetap membuat pelakunya bisa tertawa ria.
Seperti diketahui, hukuman yang dikenakan pada koruptor selama ini masih jauh dari rasa keadilan. Tidak hanya pada saat di dalam penjara, hukuman finansial yang diterima koruptor juga masih rendah dan tidak memberatkan.
Masyarakat hingga saat ini tentu sangat mengharapkan, jika penegak hukum mampu menerapkan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 di Pasal 2 ayat (2).
Bunyi dari undang-undang tersebut “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Sederhana saja harapannya, seluruh elemen bangsa bersatu padu dan berkomitmen penuh lawan korupsi. Menyamakan visi agar bersinergi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Hari Anti Korupsi Internasional yang diselenggarakan KPK dan Blogger Bertuah Pekanbaru
Terlalu naif jika hanya membahas korupsi tentang diri pribadi. Karena faktanya, korupsi yang paling menakutkan justru terjadi dikalangan pejabat negeri. Tindakan korup yang dilakukan tidak lagi merugikan diri pribadi, lebih dari itu, jutaan anak negeri kebagian menerima akibat atas tindakannya ini.
Tidak hanya terjadi pada pemerintah pusat, sejak diberlakukannya Otonomi Daerah, maka kantong korupsi menjalar hingga ke desa-desa. Perlahan tapi pasti, korupsi mulai mengguncang perekonomian negara.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2015 mencatat kerugian Indonesia akibat korupsi mencapai Rp.31,077 triliun. Terdapat sebanyak 550 kasus korupsi yang masuk tahap penyidikan selama tahun tersebut.
Terbaru, ICW melakukan pemetaan kasus korupsi di Indonesia periode Januari 2016 hingga Juni 2016. Hasilnya sepanjang waktu itu, sebanyak 210 kasus ditangani dan 500 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh 3 institusi penegak hukum. Total kerugian negara dalam enam bulan terakhir ini pun mencapai Rp 890,5 miliar.
Sementara itu, berdasarkan hasil kajian Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam analisa database korupsi yang diterbitkan April 2016 lalu, total nilai kerugian negara akibat tindak pidana korupsi di Indonesia selama 2001-2015 mencapai Rp203,9 triliun. Total ini berasal dari 2.321 kasus yang melibatkan 3.109 terdakwa.
Sebagian kita mungkin saja tidak terpengaruh dengan angka-angka tersebut. Karena faktanya masyarakat masih menjalankan aktivitas seperti biasa. Tidak ada yang berubah meskipun tindak pidana korupsi sudah begitu merajarela. Tidak tambah kaya, atau masih saja tetap miskin seperti biasanya.
Namun tahu kah kita jika tindakan para koruptor di Indonesia ini seolah disubsidi oleh rakyat dan generasi muda di masa datang?
Seperti diketahui, hukuman finansial kepada para terpidana koruptor lebih rendah jika dibandingkan dari kerugian negara yang diakibatkan. Berdasarkan kajian Laboratorium Ilmu Ekonomi UGM, ternyata dari total nilai kerugian yang mencapai Rp203,9 triliun tersebut, yang baru dikembalikan kepada negara sebesar Rp21,26 triliun atau sekitar 10,42% saja. Akibatnya, dari banyaknya nomilal kerugian yang dialami, masih ada dana hilang sebesar Rp182,64 triliun yang belum mereka ganti.
Lantas, siapakah yang akan menanggung beban akibat korupsi yang dilakukan para koruptor? Ternyata kerugian tersebut dibebankan kepada para pembayar pajak. Termasuk kita yang masih mehasiswa ketika membeli buku untuk proses belajar, para ibu-ibu yang membelikan susu formula untuk anak-anaknya, tukang becak yang membeli deterjen untuk istrinya mencuci, bahkan generasi masa depan yang saat ini belum lahir pun sudah harus menanggung beban ini.
Jika sudah begini, masih bisa kah kita mengatakan jika korupsi yang dilakukan oleh koruptor tersebut tidak berdampak pada kehidupan kita? Sehingga hanya diam menyaksikan di layar kaca ketika para koruptor tersenyum sambil melambai ke kamera.
Korupsi merupakan kejahatan yang disengaja. Namun tidak bisa dipungkiri jika seseorang akan sangat sulit menghindarinya. Sangat mudah mengatakan bahwa koruptor adalah orang yang rakus harta, perompak negara, dan orang yang lemah beragama.
Namun, apa jadinya jika kita berada dalam sistem yang mereka duduki saat ini. Mampukah kita menolak untuk tidak melakukan hal serupa?
Bukankah para koruptor yang terjerat ini dahulunya merupakan mahasiswa berpendidikan yang mungkin saja turut serta dalam unjuk rasa menolak kezoliman pemimpin yang mencurangi uang negara. Selain itu, terkhusus untuk korupsi tentu tidak ada kata alpa atau lupa, pasalnya siapapun yang terlibat sejatinya adalah orang yang sadar dan sehat kejiwaannya.
Korupsi seperti sudah tersistem dan menggurita di negeri ini. Meski pribadi bersih belum tentu tahan godaan ketika dihadapkan dengan jumlah uang miliaran. Menolak, artinya tergusur dari jabatan. Menghindar, artinya siap disisihkan dari pergaulan.
Lantas bagaimanakah cara untuk mencegah korupsi yang merajalela? Mampukah kita secara pribadi untuk menuntaskannya? Hal ini tentu bukanlah perkara mudah. Layaknya yang sering didengungkan banyak orang pada umumnya.
Saran-saran seperti perbaiki hati, bangun karakter bebas korupsi dan atau saling menasihati belum tentu menjamin seseorang jika didalam sistem akan tetap menjaga konsistensi untuk tidak korupsi.
Status sebagai masyarakat sipil tidak memberikan banyak ruang bagi kita untuk menindak koruptor. Hal yang paling besar untuk berkontribusi melawan korupsi adalah unjuk rasa. Namun, aksi itu biasanya hanya dianggap angin lalu saja. Setelahnya, tidak bisa berbuat apa-apa.
Langkah pasti yang pasti bisa dilakukan oleh setiap warga negara adalah dengan memberikan dukungan penuh pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebagai warga negara, mungkin kita sering melupakan peran lembaga ini. Pasalnya, meskipun lembaga ini ada, tetap saja korupsi tidak ada habis-habisnya.
Namun jangan salah dulu, keberadaan KPK tidak lantas menghilangkan korupsi yang sudah membudaya. Akan tetapi, jumlah koruptor yang ditangkap seolah memberikan secercah harapan jika lembaga ini akan membawa Indonesia keluar dari korupsi tak berkesudahan.
Lihat saja, bagaimana KPK telah berhasil menyeret anggota DPR, polisi, jaksa, hakim, gubernur, mantan menteri ke pengadilan. Lembaga ini KPK dapat memanggil pejabat manapun, termasuk kepala daerah dan menteri, tanpa harus minta ijin presiden. Hal ini menjadi sejarah baru bagi Indonesia dalam pemberantasan korupsi sepanjang kemerdekaan.
Lalu bagaimana cara kita sebagai warga negara untuk bisa mendukung KPK? Sebenarnya, kita bisa berkontribusi tak hanya dengan demonstrasi.
Ada cara yang lebih elegan yang seharusnya dilakukan. Seperti diketahui, ada tiga tiga zona dalam pemberantasan korupsi yakni hijau, kuning dan merah. Hijau merupakan wilayah pencegahan, Kuning adalah wilayah kajian dan investigasi, dan Merah adalah penindakan. Masyarakat bisa berkontribusi memberantas korupsi di ranah Hijau dan Kuning.
Hijau yang merupakan wilayah pencegahan bisa dilakukan dengan sosialisasi dan edukasi. Bisa dengan cara kita menggelar sendiri untuk mengedukasi orang lain, atau yang menjadi peserta sosialisasi. Intinya pada point ini pencegahan adalah memulai dari diri sendiri.
Sementara zona kuning merupakan ranah kajian dan investigasi. Masyarakat bisa berkontribusi dengan melakukan kajian dan investigasi atas potensi korupsi di lingkungan sekitar. Saat ini, banyak Peraturan Daerah yang bertentangan dengan aturan anti korupsi sebagai upaya pelegalan korupsi.
Hal ini bisa langsung dilaporkan kepada KPK. Hal yang sama juga bisa dilakukan pada tindakan mencurigakan lainnya. Sedangkan zona merah yang merupakan zona penindakan yang hak prerogatif KPK.
Selain masyarakat, dukungan terhadap KPK seharusnya datang dari pemerintah. Kita perlu melihat keberhasilan negara lain dalam memberantas korupsi melalui lembaga antikorupsi yang didukung penuh oleh pemerintah dan parlemennya. Jika tidak, berarti kita rela menyerahkan masa depan bangsa ini kepada koruptor.
Layaknya Hongkong, yang awalnya menyandang predikat sebagai negara terkorup sedunia, kini bertransformasi menjadi negara bersih di kawasan Asia Timur. Berdasarkan indeks persepsi korupsi Transparency International 2012, Hong Kong berada di peringkat 14, di atas Jepang sedangkan Cina berada di peringkat 80.
Hal ini berkat pemerintahannya yang memberikan dukungan penuh terhadap Independent Commission Against Corruption (ICAC) pada tahun 1974. Lembaga ini menangani pemberantasan korupsi layaknya KPK.
Perjuangan ICAC tidak mudah dan cepat. Namun begitu panjang dan berliku. Mereka harus berhadapan dengan pihak kepolisian yang tidak mau diperiksa. Bahkan pada tahun 1977 terjadi penyerangan oleh petugas kepolisian Hong Kong karena melakukan penyidikan terhadap sejumlah perwiranya.
Namun pemerintahannya tidak tinggal diam. Sang gubernur, Murray MacLehose yang menjabat kala itu mengambil langkah nyata. Ia memberikan amnesti untuk kasus-kasus korupsi kategori minor yang dilakukan oleh perwira polisi, sebelum tahun 1977.
Namun MacLehose memperingatkan, pemutihan serupa tidak akan diberikan lagi untuk masa-masa berikutnya. Artinya dia mendukung penuh langkah yang dilakukan ICAC. Setelahnya, ICAC memanfaatkan dukungan dari gubernur untuk menyapu bersih para polisi korup ini. Kini, ICAC dan pihak kepolisian bersatu untuk memberantas korupsi.
Lembaga ICAC juga mendapat dukungan finansial yang besar. Anggaran tahunannya bahkan mencapai AS$90 miliar, atau sekitar AS$15 per kapita.
Selain dukungan, para pembuat kebijakan juga diharapkan membuat hukum perundang-undangan yang mampu menimbulkan efek jera. Bukan justru hukuman ringan yang tetap membuat pelakunya bisa tertawa ria.
Seperti diketahui, hukuman yang dikenakan pada koruptor selama ini masih jauh dari rasa keadilan. Tidak hanya pada saat di dalam penjara, hukuman finansial yang diterima koruptor juga masih rendah dan tidak memberatkan.
Masyarakat hingga saat ini tentu sangat mengharapkan, jika penegak hukum mampu menerapkan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 di Pasal 2 ayat (2).
Bunyi dari undang-undang tersebut “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Sederhana saja harapannya, seluruh elemen bangsa bersatu padu dan berkomitmen penuh lawan korupsi. Menyamakan visi agar bersinergi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Hari Anti Korupsi Internasional yang diselenggarakan KPK dan Blogger Bertuah Pekanbaru
mbak bisa mnta kontak nya gk ada yg mau di ni masalh blog heheh masih baru
ReplyDelete